Selasa, 14 Oktober 2014

AKU: Seorang (calon) dokter di dunia nyata bumi Indonesia


AKU: Seorang (calon) dokter di dunia nyata bumi Indonesia

Sebuah refleksi,

Sebuah pemikiran yang terus terbayang sejak awal menjalani blok 4.2 tentang sistem kesehatan dan manajemen bencana.

Di awal menjalani kuliah blok 4.2 mengenai sistem kesehatan di Indonesia dan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sedang hangat di bicarakan, kami mendapatkan sebuah scenario diskusi mengenai persebaran dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis, di Indonesia. Di kelompokku, rata-rata memang kami adalah mahasiswa yang berasal dari kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Yogyakarta yang kalau dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia ini dapat dikatakan sudah memiliki sistem kesehatan yang cukup mapan. Mengapa kukatakan cukup mapan? Kota-kota ini, jika dipetakan pesebaran dokternya, boleh dibilang sudah cukup padat. Berbagai jenis dokter spesialis sudah ada bahkan sampai ke subspesialisasinya. Kota besar juga sudah dapat “memproduksi” sendiri dokter-dokter muda berkualitas yang siap bersaing ketat maupun siap menggantikan seniornya yang pensiun.

Tiba-tiba pikiranku melayang ke daerah asal keluarga besarku, tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Daerah yang dikenal dengan panorama bawah laut Bunaken yang mempesona, Gunung Lokon yang cukup aktif bergejolak, dan kekayaan alam lainnya. Meskipun memiliki Universitas yang juga “memproduksi” dokter muda berkualitas, kukira kata mapan dalam sistem kesehatan belum dapat disematkan bagi daerah ini.

Mengapa? Dibandingkan dengan daerah di Jawa yang memiliki puluhan universitas negri ditambah dengan puluhan universitas swasta di tiap propinsi yang mampu mencetak ratusan bahkan ribuan dokter yang siap bersaing di dunia kerja kesehatan, Sulawesi utara hanya memiliki 1 universitas (setahu saya) yang mencetak dokter, yaitu di Manado. Tidak heran, banyak puskesmas yang tidak ada dokternya atau hanya ada di hari tertentu karena 1 dokter melayani beberapa puskesmas yang lokasinya cukup berjauhan.

Pikiranku kembali beradu, bukankah ada ratusan bahkan ribuan dokter yang diambil sumpahnya tiap tahun? Bukankah ada ratusan dokter spesialis yang lulus tiap tahunnya? Tapi mengapa masih ada puskesmas yang tidak ada dokternya dan rumah sakit yang kekurangan dokter spesialis?

Dalam diskusi kelompokku dan bahkan dalam kuliah review blok di penghujung blok 4.2 ini, kudapatkan sebuah kesimpulan bahwa alasan dokter-dokter tidak mau ke daerah terpencil adalah karena kurangnya kesejahteraan dokter disana. Gaji yang relatif lebih rendah (walaupun cukup tinggi untuk penghasilan daerah setempat) dari rekan sejawatnya yang praktik di kota besar membuatnya merasa kurang sukses dibanding dengan rekan sejawatnya. Pemikiran tentang kualitas hidup dan pendidikan anak menyebabkan banyak dokter yang berpikir ulang puluhan kali untuk mengambil keputusan untuk melayani di daerah terpencil. Standar kesuksesan masa kini yang diukur khalayak ramai dengan banyaknya jumlah uang yang dimiliki membuat banyak dokter mengurungkan niat untuk melayani di daerah terpencil.

Mari kita cermati beberapa bagian dari sumpah dokter:

“…..
Demi Tuhan Yang Maha Esa, saya berjanji, bahwa:
Saya akan mendarmabaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
….
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita ….”

Isi janji yang mulia namun seringkali hanya di mulut saja? Anda yang menilai.

Kepentingan perikemanusiaan dan kepentingan masyarakat menurutku juga termasuk dengan kepentingan manusia di daerah terpencil untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mendapatkan uluran tangan-tangan terlatih yang dipakai untuk menyembuhkan dan memberi perhatian, mendapat pendidikan mengenai kesehatan dan bagaimana untuk memperbaiki kualitas hidup di daerahnya.
Tidak terpengaruh kesukuan menurutku tidak hanya sebatas tidak mendiskriminasi pasien dengan ras tertentu yang datang meminta pertolongan namun juga bagaimana hati kita bersungguh-sungguh untuk menjangkau ras tertentu yang minim atau sama sekali belum tersentuh pelayanan kesehatan.

Tetapi bagaimanapun juga, itu hanya teori dan norma. Sekarang aku bicara dunia NYATA.

Dokter juga manusia biasa. Butuh makan. Butuh kesejahteraan hidup. Butuh keluarga. Dan butuh segala hal yang kita dapatkan bila tidak jadi dokter. Butuh uang. Butuh rumah.

Kita mengharapkan dokter mau pergi ke daerah terpencil tapi kita tidak memberinya makan padahal dia butuh makan.

Kita mengharapkan dokter mau pergi ke daerah terpencil yang penduduknya masih tinggal di hutan padahal dia butuh rumah untuk berteduh dan tidak tahu bagaimana cara membangun rumah.

Kita mengharapkan dokter mau ke daerah terpencil yang penduduknya terbelakang karena tidak ada sekolah padahal dia punya anak dan mau memberi pendidikan terbaik bagi anaknya agar dapat menjadi dokter yang mengabdi sama seperti dia.

Kita mengharapkan dokter pergi ke pulau-pulau terluar untuk menangani beberapa puskesmas di beberapa
pulau yang puskesmasnya kosong tapi kita tidak memberi ketrampilan/pendamping yang mengerti tentang laut padahal dia membutuhkan ahlinya.

Kita mengharapkan dokter pergi ke daerah yang belum terjamah yang bukan daerah asalnya tanpa memberi orang yang tahu bahasa setempat padahal dia dituntut untuk melakukan komunikasi efektif dokter-pasien.

Kita mengharapkan dokter pergi ke daerah terpencil yang cadangan air bersihnya tidak jelas padahal dia butuh air bersih dalam menangani pasien.

Masih dapatkah dikatakan bahwa dokter-dokter itu egois maunya hanya praktik di kota besar yang banyak uangnya? Mungkin ya, tapi banyak juga yang TIDAK.

Sebuah pemikiran sederhana yang terbersit di benakku,

Dokter butuh makan. Mengapa tak mengirim dia bersama seorang ahli pangan/ahli perkebunan/ahli pertanian yang mampu memaksimalkan hasil pangan daerah setempat. Bukankah selain memberi makan sang dokter, masyarakat juga akan mendapat ilmu dan makanan?

Dokter butuh rumah. Mengapa tak mengirim bersamanya seorang arsitek untuk membantu mendesain bentuk rumah yang cocok dengan memberdayakan masyarakat setempat. Bukankah selain memberi rumah bagi sang dokter, masyarakat juga akan mengerti tentang pentingnya hidup di dalam rumah yang sehat oleh bantuan arsitek dan dokter?

Dokter butuh menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik. Mengapa tidak mengirim bersamanya seorang guru yang baik yang selain akan memberi pendidikan yang layak bagi anak sang dokter juga akan memberikan pendidikan yang layak bagi banyak anak lain di tempat itu?

Dokter butuh ahli yang sesuai dengan kondisi dimana dia ditempatkan. Mengapa tak mengirim bersamanya seorang ahli yang cocok agar menolong sang dokter dan menolong mengembangkan kehidupan masyarakat di wilayah itu?

Dokter butuh ahli bahasa dan penerjemah. Mengapa tidak dikirimkan bersamanya seorang ahli bahasa dan penerjemah yang mampu memaksimalkan dokter memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan maksimal?

Dokter butuh ahli geografi dimana tempat ia menanyakan dimana sumber air yang tepat dan dapat digali dan teknisi untuk membuat sistem pengaliran air bersih yang baik. Mengapa mereka tak dikirim bersamanya?

Apakah tidak ada juga ahli-ahli tersebut yang mau terjun membangun daerah-daerah terpencil di Indonesia? Tidak ada perintisan yang mudah, semua dimulai dari nol baru perlahan berjalan naik. DIbutuhkan komitmen dan kerja keras untuk membangun dan menciptakan kesejahteraan bagi semua.

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” – Yeremia 29:7

Alkitab kita pun mengajarkan untuk menyejahterahkan kota dimana DIA menempatkan kita supaya kitapun hidup sejahtera. Sudah saatnya anak muda bangsa tidak menyombongkan diri dengan keahlian bidang ilmu masing-masing. Setiap kita memiliki sebuah peran yang telah ditetapkan untuk bersama membangun dan menyejahterakan negri Indonesia, tempat yang TUHAN pilihkan bagi kita.

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikian kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita:” – Roma 12: 4-6a


Mari merendahkan diri kita untuk bersama berjuang menyejahterakan bangsa ini. Sesuai dengan porsi keahlian yang sudah dianugerahkan bagi kita menurut kasih karunia Allah. Anyone interested? :p


Thursday. December 8, 2011. 15:16.
A simple opinion that need your comments and your own opinions to make it more real and more applicable.
Feel free to discuss! :)

Pernah dipublikasikan di Notes Facebook dengan judul yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar