Senin, 10 November 2014

Kelas Sabar..


Cumamikir #8

Kelas sabar..

Saya bukan orang yang sabar. I admit it. Saya tidak pernah bisa memahami orang yang datang terlambat dari waktu yang dijanjikan, tidak pernah menerima alasan yang diberikan oleh orang yang terlambat dan akan selalu marah bila ada yang datang terlambat. Saya sendiri maksimal akan datang 5 menit sebelum waktu yang ditentukan. Saya tidak suka menunggu tanpa kepastian karena saya selalu memperhitungkan dan mengatur waktu-waktu kegiatan saya sampai ke menit-menitnya. Ya, saya se-strict itu tentang waktu. Selain tentang waktu, saya juga orang yang tidak sabar bila orang lain tidak mengerti apa yang saya jelaskan dengan cepat dan tepat. Saya se begitu tidak sabar! Sampai akhirnya situasi memaksa saya untuk berubah dan belajar sabar tanpa membuang ketegasan saya..

Jogjakarta.
Di tengah daerah yang menjunjung tinggi "alon-alon waton klakon" ini, saya masuk ke kelas sabar tingkat dasar. Saya berhadapan dengan orang-orang "selo" yang sangat sulit untuk on-time, orang-orang yang apabila berhadapan dengan orang yang mengajukan permohonan maaf atas suatu kesalahan akan menjawab dengan "yo, rapopo, (beberapa kalimat pendukung "rapopo"), sante wae." Tak lupa diikuti senyuman tulus yang menenangkan..

6 tahun saya ditempa di kelas sabar di kota ini membuat saya menjadi pribadi yang tidak cepat menghakimi kesalahan orang yang tidak tepat waktu. Lebih dari itu apabila ada pekerjaan yang tidak tepat waktu, saya memilih untuk membantu menyelesaikan lebih dahulu kemudian menegur mengenai keterlambatannya. Bila ada rekan yang tidak tepat waktu dalam menghadiri rapat, saya menanyakan alasan dan memberi solusi supaya tidak terlambat dan memberi pengertian mengenai konsekuensi keterlambatan kehadirannya terhadap rapat. Saya juga memberi contoh untuk menginfokan terlebih dahulu alasan dan berapa lama akan terlambat hadir bila ternyata ada hal mendadak yang akan membuat terlambat. Saya juga belajar untuk melihat bahwa memang ada orang-orang yang bisa cepat menangkap apa yang saya maksud dalam penjelasan saya dan banyak juga yang tidak sehingga butuh waktu ekstra dan pemikiran ekstra untuk menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dimengerti.

Mungkin terlihat simpel, namun bagi saya yang belasan tahun diajar untuk tidak menoleransi keterlambatan waktu, ini adalah hal yang sangat sulit serta menguras emosi. Bagaimana mengajar hati ini agar lebih lembut dan sabar mengasihi orang lain tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berkali-kali saya ingin meluapkan kemarahan dan kekesalan saya dalam menghadapi orang-orang yang tidak on-time. 
Namun saya teringat, bukankah dalam doa saya pada Tuhan saya meminta Dia mengajari saya untuk lebih sabar dan memohon kesabaran dari Dia? Tidak mungkin saya bisa belajar untuk sabar apabila Tuhan tidak menempatkan saya di kondisi yang membutuhkan kesabaran. Bagaimana mungkin Tuhan memberi saya kesabaran bila lingkungan tempat saya berada tidak menuntut saya untuk memiliki kesabaran lebih dari yang saya punya sebelumnya?

Kali ini saya sudah berpindah ke kota yang lain. Berbekal kesabaran yang sudah terasah sebelumnya selama 6 tahun di Jogja, saya memasuki kelas sabar yang baru. Mungkin Tuhan melihat bahwa saya sudah lulus dan layak untuk naik kelas di kelas sabar. Kita semua tahu bahwa naik kelas berarti pelajaran makin sulit dan ujiannya makin susah. Jika di Jogja saya banyak diperhadapkan dengan teman-teman seusia dan sejabatan maka kali ini saya harus melatih kesabaran berhadapan dengan orang yang lebih tua dan jabatan lebih senior dari saya. Sangat sulit rasanya. Bila dulu di Jogja saya bisa dengan mudah menjelaskan kemarahan saya pada rekan yang melakukan kesalahan maka sekarang tidak mungkin menjelaskan kemarahan saya pada senior apalagi di dunia profesi saya yang tingkatan kasta-nya mengalahkan tingkatan kasta di agama Hindu (tentu saja saat ini saya berada di kasta bawah, sedikit diatas kasta terbawah)

Kekesalan yang memuncak ketika melihat bahwa orang yang saya hadapi di kelas sabar kali ini adalah orang seagama, memakai aksesoris keagamaan, namun sayangnya perilakunya membuat rekan-rekan saya yang berbeda agama dengan saya sendiri merasa muak dan kesal. 
Di kelas sabar 1 tahun ke depan di kota ini, saya harus sabar menghadapi orang-orang yang gila hormat, cenderung merendahkan orang lain (mereka sudah jadi public enemy disini karena seluruh rekan kerja saya yang sudah lama bekerja disini sudah memperingatkan saya dan teman-teman), dan tidak ramah. Bagaimana mungkin saya bisa mempertahankan kewarasan saya bila saya menahan diri untuk tetap sabar? Bagaimana saya bisa memancarkan terang dan menjadi garam bila dihadapkan dengan orang-orang seperti ini?

Ah Tuhan, sepertinya dulu pun saya selalu bertanya seperti ini. Rasanya memang tak mampu menghadapi orang-orang seperti ini dengan penuh kesabaran apalagi ketika sudah dituduh yang macam-macam. Tapi toh ternyata saya berhasil bertahan 6 tahun di Jogja seharusnya 1 tahun di kota ini bukan masalah besar dan akan terlewati dengan baik. Ketika pada akhirnya meninggalkan kota ini pasti ada bagian yang sudah Kau bentuk lagi menjadi pribadi yang lebih baik yang semakin serupa denganMu. Berikan pertolonganMu lagi supaya saya pun bisa belajar dengan baik di kelas sabar tahun ini..

Love is PATIENT



Ajar kami memancarkan kasihMu Tuhan dengan menjadi lebih sabar..


10/11/14; 1730 WITA