Senin, 10 November 2014

Kelas Sabar..


Cumamikir #8

Kelas sabar..

Saya bukan orang yang sabar. I admit it. Saya tidak pernah bisa memahami orang yang datang terlambat dari waktu yang dijanjikan, tidak pernah menerima alasan yang diberikan oleh orang yang terlambat dan akan selalu marah bila ada yang datang terlambat. Saya sendiri maksimal akan datang 5 menit sebelum waktu yang ditentukan. Saya tidak suka menunggu tanpa kepastian karena saya selalu memperhitungkan dan mengatur waktu-waktu kegiatan saya sampai ke menit-menitnya. Ya, saya se-strict itu tentang waktu. Selain tentang waktu, saya juga orang yang tidak sabar bila orang lain tidak mengerti apa yang saya jelaskan dengan cepat dan tepat. Saya se begitu tidak sabar! Sampai akhirnya situasi memaksa saya untuk berubah dan belajar sabar tanpa membuang ketegasan saya..

Jogjakarta.
Di tengah daerah yang menjunjung tinggi "alon-alon waton klakon" ini, saya masuk ke kelas sabar tingkat dasar. Saya berhadapan dengan orang-orang "selo" yang sangat sulit untuk on-time, orang-orang yang apabila berhadapan dengan orang yang mengajukan permohonan maaf atas suatu kesalahan akan menjawab dengan "yo, rapopo, (beberapa kalimat pendukung "rapopo"), sante wae." Tak lupa diikuti senyuman tulus yang menenangkan..

6 tahun saya ditempa di kelas sabar di kota ini membuat saya menjadi pribadi yang tidak cepat menghakimi kesalahan orang yang tidak tepat waktu. Lebih dari itu apabila ada pekerjaan yang tidak tepat waktu, saya memilih untuk membantu menyelesaikan lebih dahulu kemudian menegur mengenai keterlambatannya. Bila ada rekan yang tidak tepat waktu dalam menghadiri rapat, saya menanyakan alasan dan memberi solusi supaya tidak terlambat dan memberi pengertian mengenai konsekuensi keterlambatan kehadirannya terhadap rapat. Saya juga memberi contoh untuk menginfokan terlebih dahulu alasan dan berapa lama akan terlambat hadir bila ternyata ada hal mendadak yang akan membuat terlambat. Saya juga belajar untuk melihat bahwa memang ada orang-orang yang bisa cepat menangkap apa yang saya maksud dalam penjelasan saya dan banyak juga yang tidak sehingga butuh waktu ekstra dan pemikiran ekstra untuk menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dimengerti.

Mungkin terlihat simpel, namun bagi saya yang belasan tahun diajar untuk tidak menoleransi keterlambatan waktu, ini adalah hal yang sangat sulit serta menguras emosi. Bagaimana mengajar hati ini agar lebih lembut dan sabar mengasihi orang lain tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berkali-kali saya ingin meluapkan kemarahan dan kekesalan saya dalam menghadapi orang-orang yang tidak on-time. 
Namun saya teringat, bukankah dalam doa saya pada Tuhan saya meminta Dia mengajari saya untuk lebih sabar dan memohon kesabaran dari Dia? Tidak mungkin saya bisa belajar untuk sabar apabila Tuhan tidak menempatkan saya di kondisi yang membutuhkan kesabaran. Bagaimana mungkin Tuhan memberi saya kesabaran bila lingkungan tempat saya berada tidak menuntut saya untuk memiliki kesabaran lebih dari yang saya punya sebelumnya?

Kali ini saya sudah berpindah ke kota yang lain. Berbekal kesabaran yang sudah terasah sebelumnya selama 6 tahun di Jogja, saya memasuki kelas sabar yang baru. Mungkin Tuhan melihat bahwa saya sudah lulus dan layak untuk naik kelas di kelas sabar. Kita semua tahu bahwa naik kelas berarti pelajaran makin sulit dan ujiannya makin susah. Jika di Jogja saya banyak diperhadapkan dengan teman-teman seusia dan sejabatan maka kali ini saya harus melatih kesabaran berhadapan dengan orang yang lebih tua dan jabatan lebih senior dari saya. Sangat sulit rasanya. Bila dulu di Jogja saya bisa dengan mudah menjelaskan kemarahan saya pada rekan yang melakukan kesalahan maka sekarang tidak mungkin menjelaskan kemarahan saya pada senior apalagi di dunia profesi saya yang tingkatan kasta-nya mengalahkan tingkatan kasta di agama Hindu (tentu saja saat ini saya berada di kasta bawah, sedikit diatas kasta terbawah)

Kekesalan yang memuncak ketika melihat bahwa orang yang saya hadapi di kelas sabar kali ini adalah orang seagama, memakai aksesoris keagamaan, namun sayangnya perilakunya membuat rekan-rekan saya yang berbeda agama dengan saya sendiri merasa muak dan kesal. 
Di kelas sabar 1 tahun ke depan di kota ini, saya harus sabar menghadapi orang-orang yang gila hormat, cenderung merendahkan orang lain (mereka sudah jadi public enemy disini karena seluruh rekan kerja saya yang sudah lama bekerja disini sudah memperingatkan saya dan teman-teman), dan tidak ramah. Bagaimana mungkin saya bisa mempertahankan kewarasan saya bila saya menahan diri untuk tetap sabar? Bagaimana saya bisa memancarkan terang dan menjadi garam bila dihadapkan dengan orang-orang seperti ini?

Ah Tuhan, sepertinya dulu pun saya selalu bertanya seperti ini. Rasanya memang tak mampu menghadapi orang-orang seperti ini dengan penuh kesabaran apalagi ketika sudah dituduh yang macam-macam. Tapi toh ternyata saya berhasil bertahan 6 tahun di Jogja seharusnya 1 tahun di kota ini bukan masalah besar dan akan terlewati dengan baik. Ketika pada akhirnya meninggalkan kota ini pasti ada bagian yang sudah Kau bentuk lagi menjadi pribadi yang lebih baik yang semakin serupa denganMu. Berikan pertolonganMu lagi supaya saya pun bisa belajar dengan baik di kelas sabar tahun ini..

Love is PATIENT



Ajar kami memancarkan kasihMu Tuhan dengan menjadi lebih sabar..


10/11/14; 1730 WITA

Selasa, 21 Oktober 2014

#cumamikir 7

#cumamikir 7

The Mask

Doctors are forced to deal with various kind of patients. The calm ones, the easy-to-get-angry, the stubborn, the lazy ones, you name it. The worst yet best part of it isthe doctors must maintain their emotion and keep smiling while they are facing all those people.meven when they are tired, hungry, dissapointed, etc.

Most people think that doctors are patient, always smile, never get angry, and other godly things. Yes we are. When we are in front of you, our beloved patients! We do get angry, we do look like grumpy but we never express those feelings in front of you because it does no good. No one would like to get scold when they are sick.

One of hospital i was trained in have a motto called 6S:
Senyum : smile
Sapa: greets
Sentuh: touch
Sopan: good attitude/behaviour
Santun: say good words
Sabar: be patient

Yes, we are doing our best to do those 6S while we are inside the hospital/clinic in front of our patients and collegue but please let us take off those fake mask when we are outside. Please, let us become our real self while we are not on duty. It is not that we are not friendly but some people just cannot easily get along well with new people, some people just don't like to do small useless chit-chat, and some people are tired of being sorrounded with a lot of people and need to go inside their private bubble to recharge their energy.

Please, don't force us to use that fake mask when we are off-duty. Let us be ourselves so that we can recharge our energy and come back to serve you on our best.


21102014.18:50

Sabtu, 18 Oktober 2014

Menanti Pelangi KasihNya



"Apa yang kau alami kini
Mungkin tak dapat engkau mengerti
Satu hal tanamkan di hati
Indah semua yang Tuhan b'ri

Tuhanmu tak akan memberi
Ular beracun pada yang minta roti
Cobaan yang engkau alami
Tak melebihi kekuatanmu

Tangan Tuhan sedang merenda
Suatu karya yang agung mulia
Saatnya kan tiba nanti
Kau lihat pelangi kasihNya"

Tahun 2014 ini dimulai dengan persiapan menuju Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Sejak awal Januari sampai 15  februari, saya benar2 fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian yang menentukan apakah saya bisa menyandang gelar "dr." di depan nama saya. Setelah melaksanakan ujian 2 sesi pada tanggal 15 februari untuk ujian teori dan 22 februari untuk ujian praktik, beban belajar selama 6 tahun di jogja rasanya terlepas sudah. Lega. Dan masa-masa penantian pun dimulai.

Menurut jadwal, tanggal 6 maret adalah tanggal penentuan nilai standar kelulusan UKDI 2014. Standard setting ini diadakan tiap tahun setelah dilakukan UKDI februari (UKDI pertama tiap tahunnya) dan nilai standar untuk kelulusan tiap tahun ditentukan berdasarkan hasil ujian di bulan februari. Standar tahun 2013 adalah 62, berdasarkan prediksi beberapa dosen saya mungkin tahun 2014 ini maksimal menjadi 65. Prediksi dosen meleset, standar kelulusan tahun 2014 adalah 66, naik 4 poin dari tahun sebelumnya dan 2 nomer lebih banyak dari prediksi dosen saya. Grup PD08 FKUGM mulai ricuh, panik, takut tidak lulus. Saya deg2an sendiri di Tomohon.

Penantian mengenai kelulusan UKDI makin memuncak menjelang pengumuman online (seingat saya) 12 Maret. Saya masih di Tomohon, deg2an sendiri, sambil memantau perkembangan dari grup line angkatan dan grup whatsapp kelompok belajar. H-1 pengumuman online, muncul rumor beberapa orang dri UGM tidak lulus. Makin panik. Makin deg2an. Tapi, hati kecil ini berkata "you gave your all, mi. You've done your best. Even if the result tomorrow say that you fail, that's okay. Nothing to regret with it. Just deal with it, move on, study more for next exam." Ada benarnya juga. Selama 1.5 bulan belajar, mengulang segala macam soal, latihan OSCE, dan berbagai bentuk belajar kelompok rasanya saya memang sudah memberi yang terbaik. God will do the rest.

Penantian pertama tahun ini memberi hasil yang sangat baik. Saya LULUS. Lulus bukan lolos, nilai saya jauh diatas standar kelulusan. Praise God.

Penantian berlanjut kepada tanggal angkat sumpah dokter. Pihak fakultas mengatakan bahwa pelantikan dokter baru dapat dilaksanakan minimal 1 bulan setelah pengumuman kelulusan UKDI. Kami mempersiapkan segala berkas-berkas yang diperlukan dan ternyata masih tersandung masalah administrasi. Banyak teman termasuk saya dikatakan belum membayar SPP padahal kami sudah mengisi KRS dan membayar POTMA jadi tidak mungkin belum membayar SPP. Setelah ditinjau lebih jauh, karena perbedaan NIM saat S1 dan NIM saat koas, beberapa mahasiswa data pembayarannya masuk ke NIM S1 sedangkan yang dicek adalah NIM koas, jadilah banyak yang dikatakan belum bayar SPP padahal sudah. Masalah SPP ini baru muncul 1 minggu sebelum tanggal pelantikan dokter. Well, cukup membuat pusing anak-anak yang sedang liburan di luar jogja. Haha.

Tanggal 5 April 2014, kami dilantik sebagai dokter. Penantian kedua tahun inipun selesai.

Penantian berikutnya adalah penantian yang paling menguras tenaga, hati, dan pikiran (mulai agak lebay). Penantian sertifikat kompetensi, surat tanda registrasi, dan pemberangkatan internship.
Awalnya jika mengikuti pola tahun sebelumnya, lulusan UKDI Februari akan diberangkatkan pada bulan Mei sayangnya, ada masalah antar institusi diatas sana yang mengakibatkan kami tidak dapat berangkat bahkan UKDI kami dianggap tidak sah. Yep! Tidak sah! Sakit hati luar biasa. Hahahaha. Untungnya, setelah mediasi dan bantuan segenap dosen kami yang luar biasa dan perjuangan teman-teman ke kemenkes dan dikti (AIPKI), ujian kami tetap dianggap sah. 

Kami mulai merasakan sulitnya birokrasi di masa transisi. Kami adalah angkatan pertama yang menggunakan sistem UKDI sebagai exit exam yang berarti jika tidak lulus UKDI maka akan dikembalikan ke fakultas untuk dibimbing lebih lanjut dan belum dapat dilantik sebagai dokter. Transisi sistem inilah yang dipermasalahkan sehingga sertifikat kompetensi kami tidak kunjung diterbitkan oleh K**I (salah satu kolegium dibawah I*I) padahal, sertifikat kompetensi (serkom) diperlukan untuk mengurus surat tanda registrasi (STR) di konsil kedokteran Indonesia (KKI), dan STR dibutuhkan untuk pemberangkatan internship.

Akhirnya, kami diberikan assessment tambahan dari K**I berupa take home essay 5 pertanyaan agar serkom kami dapat diterbitkan. Batas akhir pengumpulan assessment adalah 21 Mei 2014. Hasil assessment dijanjikan tanggal 6 Juni dan kenyataannya hasil assessment keluar pertengahan Juni secara bertahap di website I*I. Tak hanya sampai disitu, kami harus melakukan verifikasi dan validasi dengan menyertakan ijazah asli ke kantor I*I pada pertengahan Juli.

Akhirnya serkom kami terbit pada akhir Agustus.

Serkom asli dikirim ke alamat masing-masing, ada yang dikirim ke alamat korespondensi dan ada juga yang dikirim ke alamat asal. Milik saya? Dikirim ke alamat korespondensi di Jogja padahal saya di Jakarta dan pengurusan STR dilakukan di kantor KKI di Jakarta. Untungnya bagian K**I sudah mempersiapkan 1 lembar fotocopy berkas serkom setiap universitas sehingga memudahkan kami untuk dapat mengurus STR secara kolektif di KKI.

Setelah memasukkan 70an berkas lulusan UGM, tak disangka berkas saya malah bermasalah karena di surat keterangan sehat dari puskesmas tidak ada nomor SIP dokter yang memeriksa yang ada hanyalah nomor STR dokternya!!! Astaga!! Akhirnya saya kembali lagi ke kantor KKI untuk memberikan surat keterangan sehat yang lain, kali ini saya memastikan yang disertakan adalah nomor SIP. Karena berkas saya dianggap masuk terlambat daripada teman-teman yang lain dari UGM, saya mendapat nomor STR juga lebih lambat padahal nomor itu digunakan untuk membuat akun di website dokter internship.

Penantian berikutnya adalah menunggu STR fisik terbit dan dikirim ke kantor pos besar terdekat. Karena berkas saya lebih terlambat makan pengirimannya juga lebih lama dan sudah mendekati batas akhir peng-unggah-an STR fisik ke website internship. Saat teman-teman di grup heboh dengan STR yang tidak kunjung sampai, saya di Surabaya. Saya memang sudah meninggalkan surat kuasa dan fotokopi KTP untuk pengambilan surat di kantor pos untungnya usaha saya untuk meminta pak supir go show ke kantor pos 3 hari setelah info berkas dikirim (walaupun saya belum mendapat sms/surat dari kantor pos) ada hasilnya. Hari sabtu 13 september, saat supir saya tiba di kantor pos Jl. Pemuda, STR saya ada di tumpukan teratas, baru tiba, belum didata, tapi langsung boleh dibawa pulang. Haha. 

Saya meminta kakak saya untuk scan, kirim via e-mail, saya unggah saat itu juga. Done!

Penantian berikutnya adalah pemilihan wahana internship. Portal combat. Dijadwalkan tanggal 20 september pk 01.00. Tanggal 19 september pk 22.00 muncul pengumuman diundur ke 20 september pk. 07.00. Okay.

20 september 09.30 saya memilih Luwuk, sulawesi tengah. Whatever will be, will be.

Penantian terakhir dari drama UKDI - internship: kapan berangkat?
Awalnya, muncul tanggal 6 oktober kemudian tanggal 20 oktober kemudian tanggal 11 oktober kemudian tanggal 1 oktober dan akhirnya pengumuman resi dari website dokter internship menyatakan bahwa propinsi Sulawesi Tengah berangkat 20-24 oktober. Berita terakhir dari penanggung jawab wilayah adalah 22 oktober. Yeay!
Finally, 22 oktober. Fixed date. Tapi sampai sekarang tiket belum dikirim ke e-mail saya. Haha.

Mungkin saat dibaca muncul kesan "ah biasa aja kali.." Yang mebuat tidak biasa adalah:
1. Tanggal-tanggal yang tercantum diatas biasanya diberitahukan 3 hari sampai 1 minggu sebelumnya. Hanya tanggal 22 oktober dan 5 april yang diberitahukan lebih dari 3 minggu sebelumnya.
2. Proses verval di Jakarta yg pemberitahuannya termasuk mendadak membuat banyak dari kami naik pesawat dan naik kereta dadakan jog-jkt. Terbayang harga tiketnya? Dan berkali-kali harus bolak-balik dengan tiket dadakan.
3. Karena banyak acara dadakan kami tidak bisa berlibur. 7 bulan "digantung". Tahu PHP kan? Bukan yg di ujungnya alamat website loh ya ".php"
4. Bisa kebayang susahnya jawab pertanyaan "Sudah lulus kan? sekarang dinas dimana?" Rasanya ingin sekali membuat leaflet biar gausah kasi penjelasan panjang lebar karena setelah dijelaskan juga paling muncul "oh, intinya pengangguran kan ya?" Yes! Saya dokter, saya pengangguran 7 bulan! 2 bulan lagi udah mau lahir nih anaknya..

Tapi........

7 bulan itu ga terlewatkan dengan sia-sia. Banyak hal baru yang saya dapatkan juga yang jelas ga saya dapat kalau bulan Mei saya sudah berangkat intership.

1. Saya jadi benar-benar paham ribetnya proses birokrasi di negri ini. Dari jalan sam ratulangi ke daerah cikini kemudian ke jalan hang jebat. Berputar-putar di 3 kantor ini berulang kali membuat saya tahu bahwa birokrasi itu memang tempatnya orang sabar. Untung saya hidup 6 tahun di Jogja, kesabaran saya sudah cukup terlatih :)
2. I got my diving lisence! Yeay! Walaupun course nya dikebut 1 minggu full nonstop. Astaganaga. Minggu depannya saya hibernasi. Teler.
3. I met new friends from MMF Malaysia. Satu minggu penuh sama-sama melayani di daerah pinggiran Jogja benar-benar berkesan :) melihat semangat dan sukacita mereka. Sama-sama menyentuh sakit fisik dan berusaha menyetuh hati orang-orang yang datang ke tempat pelayanan kesehatan gratis yang kami berikan.

4. Ikut pelatihan hiperkes (kesehatan dan keselamatan kerja) selama 1 minggu. Tidak ada yang buruk dari menambah ilmu kan?
5. Bisa menghadiri pernikahan teman-teman dan kakak KTB tercinta :) happy moments.
6. Bisa bertemu teman2 pelayanan yang baru di Jogja. Walaupun cuma sebentar tapi benar-benar berkesan.
7. Teman-teman baru karena ikut dive sama-sama. Such a blessing to meet them all.
8. Bisa mengunjungi opa-oma Adam dan keluarga di Surabaya. Opa terharu sekali waktu saya datang smpe meluk lama banget, nangis, ngomong dengan suara serak "opa kira sudah ndak bisa ketemu lagi".. Well,,

9. Bisa menghabiskan waktu 1 minggu dengan salah seorang anggota gankMay90: Maynard Poli dan share tentang kehidupan 18 tahun terakhir. Hahaha. Keliling Surabaya dan nostalgia masa kecil, wow!
10. The list endless

Tujuh bulan penuh penantian ini ternyata Tuhan isi dengan hal-hal yang membuat saya bertumbuh bukan secara keilmuan medis tapi pelajaran tentang kehidupan. 

Thank you for everyone who makes my 7 months of waiting worth every second. 

May time let us to cross our path again in the near future.

Penantian itu akan indah pada waktu Nya, selama masa penantian itu coba lihat sekeliling dan nikmati setiap detik yang diberikan. 

Bukankah saat menunggu motor diservis di bengkel lebih enak sambil baca majalah yang disediakan daripada mengeluhkan berisiknya bunyi yang timbul dari mesin-mesin di bengkel?

May God bless your waiting time, lovely people!


Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita
Ibrani 6:19a


Saturday, Oct 18th 2014 15:15
Jakarta

Kamis, 16 Oktober 2014

#CumaMikir 5

Broken relationship


If we no longer define home as family, what we call that family?

If we no longer see parents as people we share our live to, what we call that parents?

If we only see home as a house, can we still say "that's my family's home"?

If we can only say normatical things inside our home, how can we say that we share our live?

If we can only stay in harmony while we are apart, how can we say we are a happy family?

If we can only avoid fighting by keep our mouth shut, how can we learn to be a better person interacting inside an organization called family?

If no one ever want to be criticize, how can we grow up?

If there is no union of hearts inside a house, do you still call it a family live inside?

An old song says 
"home is really where our hearts is 
and home must be a place we all can share
And even with our differences, our heart are much the same
For where love is we come together there"

If our heart no longer live inside our family's house, we will never call it home anymore.

Kalau sampe pernah terbersit pikiran "harusnya memang ga pulang ke rumah" you are in a big big trouble. For me, up until now, i still don't have the answer to solve that problem :(

#CumaMikir 4

1st. 2nd. 3rd


Kalau seseorang tidak pernah diberi beban untuk bertanggung jawab, kapan ia akan belajar?

Kalau seseorang hanya 'terima jadi' kapan ia belajar berkreasi?

Kalau seseorang tidak pernah dilatih untuk memikirkan solusi atas masalah, kapan ia belajar memiliki pola pikir orang dewasa?

Kalau seseorang tidak pernah belajar untuk menghargai orang lain, apakah ia pantas untuk dihargai?

Kalau seseorang tidak pernah dilatih untuk melihat kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri, bukan mustahil di masa depan lahir pemimpin yang 'semau gue'.

*cuma mikir sih*

#CumaMikir 3

Apes don't kill apes
Monyet aja punya aturan ga bunuh sesamanya.
Klo manusia (yang katanya) punya akal budi saling bunuh sesamanya, apakah manusia lebih rendah dari monyet?

Ato apakah manusia yg dibunuh itu sebenernya dibunuh oleh bukan sesamanya? 
Yang dibunuh adalah manusia, yg membunuh adalah monyet. Mungkin.

Nanti saya dimarahin sama monyet-monyet. Duh.

*cuma mikir* sih..

Rabu, 15 Oktober 2014

#CumaMikir 2

Dokter itu pengabdian


Katanya dokter itu pengabdian, ga baik nagihin duit ke orang-orang
Brarti klo bukan dokter ga mengabdi sama masyarakat ya?

Di daerah terpencil tuh banyak yg gabisa akses faskes, dokternya ga ada
Stau saya sih mrk jg ga ada akses pendidikan n tempat tinggal layak, knp guru dan arsitek ga ada yg kesana ya?

Di daerah terpencil tuh apa2 susah, air aja jauh sumbernya
Mungkin butuh anak teknik juga kesana bikin ide kreatif. Kan di kota jg ga harus ke mata air diatas gunung buat ambil air bersih.

Menurutku sih, smua profesi itu pengabdian. Smuanya harus mau ditempatkan di daerah terpencil dan membangun daerah itu bareng2 sesuai kompetensi profesinya.

*cuma mikir* sih..

#CumaMikir 1

Tentang perbedaan


Klo ga suka perbedaan, badannya dri atas ke bawah sama smua. Misal mata doang

Ato klo makan lebih hemat. Nasi doang gapake sayur sama lauk. Nasi polosan

Harusnya klo gasuka perbedaan, gapunya pasangan hidup yg lawan jenis. Men and women are totally different

Mungkin spatunya banyak tp sama smua. Converse biru dongker smua misalnya

Klo tidur di kasur, kepalanya dialasin kasur, yg dipeluk jg kasur, selimutan pake kasur juga.

Well, beras aja butuh air supaya jadi nasi yang berguna mengenyangkan orang banyak. 
Perbedaan itu justru membuat orang lebih kuat dan berguna untuk orang banyak. Perbedaan itu saling melengkapi dan menguatkan.

*cuma mikir* sih..

Selasa, 14 Oktober 2014

The ship at roaring ocean


Approaching the end of clinical rotation isn't making me more confident to become a clinician. Well, yeah, maybe I do become more confident in some points but not in some other points. I realize that the finish line laid in front of my very eyes but yet I'm afraid to run and reach it! Why? Because the point of being a medical doctor is not about having the title in front of my name but it is all about the life, the care, the servant-ship, and all the (they said) patriotic-heroic things that doctors do. In the other hand, with all these modernization, we are facing the new era of medicine that we called it medicine-business where everything is all about money just like economic science said "to get more profit with less money spent" and also one more thing "successful defined by how rich you are".

With all those points of view that our communities have, people start questioning me when I haven't finish my pre-clinical stage. The questions are always similar about what speciality I would take, where would I do my practice once I've finished my study, etc. They also have one thing similar, the message, message to take a speciality that would get more money with less effort and stress. Well, is there anyone who wants to take a path that is small, hard to go through, painful, and else? Every human wants the easiest yet produce much more money. That's why many people used this trick to get money from others, the pick-pockets,thieves,etc. 

For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs (1 Timothy 6:10)

But is it really how things should be? I don't think so.

I believe there are more things than becoming a medical doctor with a lot of money. I believe there are more things God's wants me to do despite of being rich. I believe that my top priority is serving God through my profession and richness is just a bonus. For now, I still have no idea what should I do over my finish line in this chapter of my life but I should learn to walk by faith and giving all my worries in His loving hands.

For I know the plans I have for you,” declares the Lord, “plans to prosper you and not to harm you, plans to give you hope and a future. (Jeremiah 29:11)





Pernah dipublikasikan dengan judul yang sama di Notes Facebook pada 26 Oktober 2013 oleh Amelia Juliana Adam

AKU: Seorang (calon) dokter di dunia nyata bumi Indonesia


AKU: Seorang (calon) dokter di dunia nyata bumi Indonesia

Sebuah refleksi,

Sebuah pemikiran yang terus terbayang sejak awal menjalani blok 4.2 tentang sistem kesehatan dan manajemen bencana.

Di awal menjalani kuliah blok 4.2 mengenai sistem kesehatan di Indonesia dan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sedang hangat di bicarakan, kami mendapatkan sebuah scenario diskusi mengenai persebaran dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis, di Indonesia. Di kelompokku, rata-rata memang kami adalah mahasiswa yang berasal dari kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Yogyakarta yang kalau dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia ini dapat dikatakan sudah memiliki sistem kesehatan yang cukup mapan. Mengapa kukatakan cukup mapan? Kota-kota ini, jika dipetakan pesebaran dokternya, boleh dibilang sudah cukup padat. Berbagai jenis dokter spesialis sudah ada bahkan sampai ke subspesialisasinya. Kota besar juga sudah dapat “memproduksi” sendiri dokter-dokter muda berkualitas yang siap bersaing ketat maupun siap menggantikan seniornya yang pensiun.

Tiba-tiba pikiranku melayang ke daerah asal keluarga besarku, tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Daerah yang dikenal dengan panorama bawah laut Bunaken yang mempesona, Gunung Lokon yang cukup aktif bergejolak, dan kekayaan alam lainnya. Meskipun memiliki Universitas yang juga “memproduksi” dokter muda berkualitas, kukira kata mapan dalam sistem kesehatan belum dapat disematkan bagi daerah ini.

Mengapa? Dibandingkan dengan daerah di Jawa yang memiliki puluhan universitas negri ditambah dengan puluhan universitas swasta di tiap propinsi yang mampu mencetak ratusan bahkan ribuan dokter yang siap bersaing di dunia kerja kesehatan, Sulawesi utara hanya memiliki 1 universitas (setahu saya) yang mencetak dokter, yaitu di Manado. Tidak heran, banyak puskesmas yang tidak ada dokternya atau hanya ada di hari tertentu karena 1 dokter melayani beberapa puskesmas yang lokasinya cukup berjauhan.

Pikiranku kembali beradu, bukankah ada ratusan bahkan ribuan dokter yang diambil sumpahnya tiap tahun? Bukankah ada ratusan dokter spesialis yang lulus tiap tahunnya? Tapi mengapa masih ada puskesmas yang tidak ada dokternya dan rumah sakit yang kekurangan dokter spesialis?

Dalam diskusi kelompokku dan bahkan dalam kuliah review blok di penghujung blok 4.2 ini, kudapatkan sebuah kesimpulan bahwa alasan dokter-dokter tidak mau ke daerah terpencil adalah karena kurangnya kesejahteraan dokter disana. Gaji yang relatif lebih rendah (walaupun cukup tinggi untuk penghasilan daerah setempat) dari rekan sejawatnya yang praktik di kota besar membuatnya merasa kurang sukses dibanding dengan rekan sejawatnya. Pemikiran tentang kualitas hidup dan pendidikan anak menyebabkan banyak dokter yang berpikir ulang puluhan kali untuk mengambil keputusan untuk melayani di daerah terpencil. Standar kesuksesan masa kini yang diukur khalayak ramai dengan banyaknya jumlah uang yang dimiliki membuat banyak dokter mengurungkan niat untuk melayani di daerah terpencil.

Mari kita cermati beberapa bagian dari sumpah dokter:

“…..
Demi Tuhan Yang Maha Esa, saya berjanji, bahwa:
Saya akan mendarmabaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
….
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita ….”

Isi janji yang mulia namun seringkali hanya di mulut saja? Anda yang menilai.

Kepentingan perikemanusiaan dan kepentingan masyarakat menurutku juga termasuk dengan kepentingan manusia di daerah terpencil untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mendapatkan uluran tangan-tangan terlatih yang dipakai untuk menyembuhkan dan memberi perhatian, mendapat pendidikan mengenai kesehatan dan bagaimana untuk memperbaiki kualitas hidup di daerahnya.
Tidak terpengaruh kesukuan menurutku tidak hanya sebatas tidak mendiskriminasi pasien dengan ras tertentu yang datang meminta pertolongan namun juga bagaimana hati kita bersungguh-sungguh untuk menjangkau ras tertentu yang minim atau sama sekali belum tersentuh pelayanan kesehatan.

Tetapi bagaimanapun juga, itu hanya teori dan norma. Sekarang aku bicara dunia NYATA.

Dokter juga manusia biasa. Butuh makan. Butuh kesejahteraan hidup. Butuh keluarga. Dan butuh segala hal yang kita dapatkan bila tidak jadi dokter. Butuh uang. Butuh rumah.

Kita mengharapkan dokter mau pergi ke daerah terpencil tapi kita tidak memberinya makan padahal dia butuh makan.

Kita mengharapkan dokter mau pergi ke daerah terpencil yang penduduknya masih tinggal di hutan padahal dia butuh rumah untuk berteduh dan tidak tahu bagaimana cara membangun rumah.

Kita mengharapkan dokter mau ke daerah terpencil yang penduduknya terbelakang karena tidak ada sekolah padahal dia punya anak dan mau memberi pendidikan terbaik bagi anaknya agar dapat menjadi dokter yang mengabdi sama seperti dia.

Kita mengharapkan dokter pergi ke pulau-pulau terluar untuk menangani beberapa puskesmas di beberapa
pulau yang puskesmasnya kosong tapi kita tidak memberi ketrampilan/pendamping yang mengerti tentang laut padahal dia membutuhkan ahlinya.

Kita mengharapkan dokter pergi ke daerah yang belum terjamah yang bukan daerah asalnya tanpa memberi orang yang tahu bahasa setempat padahal dia dituntut untuk melakukan komunikasi efektif dokter-pasien.

Kita mengharapkan dokter pergi ke daerah terpencil yang cadangan air bersihnya tidak jelas padahal dia butuh air bersih dalam menangani pasien.

Masih dapatkah dikatakan bahwa dokter-dokter itu egois maunya hanya praktik di kota besar yang banyak uangnya? Mungkin ya, tapi banyak juga yang TIDAK.

Sebuah pemikiran sederhana yang terbersit di benakku,

Dokter butuh makan. Mengapa tak mengirim dia bersama seorang ahli pangan/ahli perkebunan/ahli pertanian yang mampu memaksimalkan hasil pangan daerah setempat. Bukankah selain memberi makan sang dokter, masyarakat juga akan mendapat ilmu dan makanan?

Dokter butuh rumah. Mengapa tak mengirim bersamanya seorang arsitek untuk membantu mendesain bentuk rumah yang cocok dengan memberdayakan masyarakat setempat. Bukankah selain memberi rumah bagi sang dokter, masyarakat juga akan mengerti tentang pentingnya hidup di dalam rumah yang sehat oleh bantuan arsitek dan dokter?

Dokter butuh menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik. Mengapa tidak mengirim bersamanya seorang guru yang baik yang selain akan memberi pendidikan yang layak bagi anak sang dokter juga akan memberikan pendidikan yang layak bagi banyak anak lain di tempat itu?

Dokter butuh ahli yang sesuai dengan kondisi dimana dia ditempatkan. Mengapa tak mengirim bersamanya seorang ahli yang cocok agar menolong sang dokter dan menolong mengembangkan kehidupan masyarakat di wilayah itu?

Dokter butuh ahli bahasa dan penerjemah. Mengapa tidak dikirimkan bersamanya seorang ahli bahasa dan penerjemah yang mampu memaksimalkan dokter memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan maksimal?

Dokter butuh ahli geografi dimana tempat ia menanyakan dimana sumber air yang tepat dan dapat digali dan teknisi untuk membuat sistem pengaliran air bersih yang baik. Mengapa mereka tak dikirim bersamanya?

Apakah tidak ada juga ahli-ahli tersebut yang mau terjun membangun daerah-daerah terpencil di Indonesia? Tidak ada perintisan yang mudah, semua dimulai dari nol baru perlahan berjalan naik. DIbutuhkan komitmen dan kerja keras untuk membangun dan menciptakan kesejahteraan bagi semua.

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” – Yeremia 29:7

Alkitab kita pun mengajarkan untuk menyejahterahkan kota dimana DIA menempatkan kita supaya kitapun hidup sejahtera. Sudah saatnya anak muda bangsa tidak menyombongkan diri dengan keahlian bidang ilmu masing-masing. Setiap kita memiliki sebuah peran yang telah ditetapkan untuk bersama membangun dan menyejahterakan negri Indonesia, tempat yang TUHAN pilihkan bagi kita.

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikian kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita:” – Roma 12: 4-6a


Mari merendahkan diri kita untuk bersama berjuang menyejahterakan bangsa ini. Sesuai dengan porsi keahlian yang sudah dianugerahkan bagi kita menurut kasih karunia Allah. Anyone interested? :p


Thursday. December 8, 2011. 15:16.
A simple opinion that need your comments and your own opinions to make it more real and more applicable.
Feel free to discuss! :)

Pernah dipublikasikan di Notes Facebook dengan judul yang sama.